Artikel ini pernah dimuat dalam rubrik opini harian cetak Republika, 18 Juni 2011 dengan judul Agama & Nasionalisme
Tulisan ini merupakan tanggapan atas rilis konferensi pers hasil survei Tata Nilai, Impian, Cita-cita Pemuda Muslim di Asia Tenggara yang diadakan Goethe-Institut, The Friedrich Naumann Foundation for Freedom, Lembaga Survei Indonesia dan Merdeka Center for Opinion Research Malaysia pada Selasa (14/6). Kesimpulan utama hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia adalah Anak muda muslim di Indonesia ternyata lebih mengutamakan identitas keislaman mereka ketimbang identitas mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Tidak jelas apa sebenarnya tujuan utama dilakukan survei ini, bahkan dalam survei ini tidak didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud identitas agama serta identitas kebangsaan. Apakah pengertian identitas tersebut dalam bentuk penampilan semata, pandangan dan semangat hidup ataukah dalam bentuk interaksi antar sesama manusia. Namun terlihat dari kesimpulan umum yang disampaikan mengenai anak muda Muslim di Indonesia, ada semacam tendensi yang membenturkan semangat agama dengan semangat kebangsaan. Tendensi ini diperkuat oleh pernyataan Burhanudin Muhtadi**, Direktur Urusan Publik Lembaga Survei Indonesia yang menengarai hasil survei itu menampakkan kegagalan sistem pendidikan. Perilaku orang kota yang lebih merasa sebagai orang Islam, kata Burhanuddin, berkaitan dengan sistem pendidikan yang tidak mampu menguatkan sentimen kebangsaan. Semangat agama sebagai bagian dari pandangan hidup dipersepsikan menjadi sesuatu yang salah dan sangat bertentangan dengan prinsip kebangsaan.
Memang benturan bahkan pemisahan dengan tegas antara identitas agama dengan identitas kebangsaan mungkin menjadi sesuatu yang lumrah bagi sebagian negara lain. Tapi tidak bagi Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang menjadi landasan, pertama adalah landasan historis perjuangan bangsa sedangkan kedua adalah falsafah yang dianut bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pendapat yang membenturkan identitas agama dengan identitas kebangsaan di Indonesia jelas-jelas bertolak belakang dengan dua landasan tersebut.
Landasan pertama adalah landasan historis, yaitu sejarah perjuangan kebangsaan dimana semangat kebangsaan dan semangat Agama seringkali berkaitan erat. Sebut saja apa yang dilakukan salah satu tokoh utama Pertempuran Surabaya, Bung Tomo, yang menggelorakan semangat jihad dengan kalimat takbir dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Belum lagi tokoh-tokoh ulama yang juga mendapat gelar pahlawan nasional seperti KH Achmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, HOS Tjokroaminoto tokoh Syarikat Islam, ataupun KH Agus Salim, salah satu bapak bangsa yang juga tokoh ulama dan aktivis Syarikat Islam. Dari perjalanan hidup tokoh-tokoh tersebut sangatlah jelas bahwa mereka adalah sosok yang justru mensinergikan semangat kebangsaan dengan semangat keislaman (semangat agama). Bagaimana semangat kebangsaan senantiasa dipupuk dengan motivasi keagamaan, hingga lahir semboyan cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Tidak heran jika banyak pejuang yang berjuang membela bangsa dengan niat jihad disertai harapan gugur dalam pertempuran sebagai seorang syuhada (mati dalam keadaan syahid). Sehingga, jika coba direnungi sejarah perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sangatlah tidak relevan jika akhirnya semangat keagamaan dan semangat kebangsaaan dibenturkan.
Landasan kedua adalah landasan filosofis, yaitu Pancasila. Identitas kebangsaan bangsa Indonesia adalah Pancasila yang idealnya senantiasa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Pancasila justru tidak membenturkan antara identitas agama dengan identitas kebangsaan. Pancasila justru mensinergikan antara dua identitas tersebut. Bahkan jika direnungi lebih mendalam, falsafah Pancasila justru menjadikan landasan agama sebagai identitas utama kebangsaan bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila secara jelas menegaskan bahwa identitas kebangsaan bangsa Indonesia harus dilandasi dan dibuktikan dengan aktivitas religius yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Dari sila pertama saja sangatlah jelas bahwa prinsip-prinsip Ketuhanan harus menjadi bagian dari pedoman hidup bangsa Indonesia.
Sangat disayangkan jika Lembaga Survei Indonesia menyatakan bahwa pengamalan nilai-nilai agama merupakan bagian dari nilai konservatif. Dalam siaran persnya, Lembaga Survei Indonesia mengungkapkan bahwa pendidikan agama yang mendoktrin itu juga menghasilkan pemikiran konservatif di antara anak-anak muda Indonesia. Mereka menolak seks sebelum menikah (96,2 persen), mengonsumsi alkohol (88,7 persen), atau menjauhi bahan psikotropika halus/mariyuana (99,2 persen). Jelas pernyataan serta materi survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia ini sangatlah kontradiktif dengan nilai filosofi bangsa yaitu Pancasila. Lebih lanjut kesimpulan dari survei ini cendrung menganjurkan generasi muda untuk menanggalkan identitas agama dengan dalih kebangsaan.
Dari dua landasan yang telah diuraikan saja bisa disimpulkan bahwa tidaklah relevan membenturkan identitas agama dengan identitas kebangsaan Indonesia. Terlebih filosofi Pancasila yang menegaskan asas Ketuhanan harus menjadi pedoman utama dalam hidup. Berdasarkan asas Pancasila, nilai-nilai agama memungkinkan menjadi referensi dalam perundang-undangan selama itu merupakan konsensus yang diterima secara konstitusi.
Sebagai penutup, ada kesalahan yang menjadikan kesimpulan utama survei ini cendrung bias, yaitu tidak mendefinisikan pengertian identitas, khususnya identitas agama. Karena identitas agama bisa saja hanya dipersepsikan hanya dalam bentuk penampilan saja bukan sebagai pedoman hidup, atau justru identitas agama dipraktekan secara berlebihan tanpa didasari ilmu dalam interaksi sosial sehingga hal inilah yang memancing terjadinya konflik. Identitas agama dalam arti pedoman hidup sangatlah penting karena justru merupakan benteng dari perbuatan amoral. Bahkan jika kita coba lihat kembali perjalanan hidup pahlawan nasional, agama merupakan spirit utama yang menjadi energi untuk berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa.
(Muhammad Aldhira)
SPONSORED
Ubah sampah dapur organik jadi berkah dengan ROSDA
Klik disini
Syarat iklan/sponsor : bukan iklan rokok dan/atau produk yang bertentangan dengan nilai Islam
Comments
Post a Comment